Rabu, 07 Januari 2015

Pelanggaran HAM TANJUNG PRIOK 1984

Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Tanjung Priok 1984

Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) adalah suatu hal yang kerap di bicarakan pada era reformasi ini.  Di Indonesia sudah sering terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM. Salah satunya kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984. 

Kasus ini berawal dari terjadinya unjuk rasa yang dilakuka oleh masyarakat setempat yang kebanyakan beragama Islam. Mereka menuntut  pembebasan saudara-saudara mereka yang ditahan di kantor Komando Distrik Militer (KODIM) setempat. Saat melakukan unjuk rasa, mereka di tangkap untuk disiksa, dianiaya, dan diberondong dengan senjata api oleh para anggota TNI, yang kabarnya datang karna di tugaskan untuk mengamankan pengunjuk rasa. Akibatnya banyak pengunjuk rasa yang mengalami luka-luka dan bahkan banyak yang meninggal dunia. Parahnya, dari pengunjuk rasa yang meninggal itu semasa berkuasanya rezim Soeharto tidak diketahui kuburannya. Pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut tercatat sebagai salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia terberat yang pernah terjadi. Tercatat pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 terjadi pada tanggal 8 - 12 september 1984, di mana pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan antara lain, pembunuhan secara kilat yang terjadi di depan Mapolres Jakarta Utara tanggal 12 september 1984. Ini merupakan akibat dari penggunaan kekerasan yang berlebihan yang tidak sepatutnya terhadap kelompok massa oleh satu regu pasukan dari Kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno Mascung dengan senjata semi otomatis. Para anggota pasukan masing-masing membawa peluru yang diambil dari gudang masing-masing sekitar 5-10 peluru tajam. Atas tindakan ini jatuh korban kurang lebih 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try Soetrisno Pangdam V Jaya korban kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot Subroto. 
Setelah peristiwa tersebut, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan yang sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Korban diambil di rumah atau ditangkap disekitar lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang. Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis. Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain.
 
Kemudian ada pula tindakan penghilangan orang secara paksa, penghilangan orang ini terjadi dalam tiga tahap, pertama; menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari cara penguburan yang dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Lokasi penguburan juga tidak dibuat tanda-tanda, sehingga sulit untuk diketahui. Kedua; menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar