Kasus
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Tanjung Priok 1984
Hak
merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang
penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang
terkait dengan interaksinya antara individu dengan instansi. Hak juga merupakan
sesuatu yang harus diperoleh. Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) adalah suatu hal
yang kerap di bicarakan pada era reformasi ini.
Di Indonesia sudah sering terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM. Salah
satunya kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984.
Kasus ini
berawal dari terjadinya unjuk rasa yang dilakuka oleh masyarakat setempat yang
kebanyakan beragama Islam. Mereka menuntut
pembebasan saudara-saudara mereka yang ditahan di kantor Komando Distrik
Militer (KODIM) setempat. Saat melakukan unjuk rasa, mereka di tangkap untuk
disiksa, dianiaya, dan diberondong dengan senjata api oleh para anggota TNI,
yang kabarnya datang karna di tugaskan untuk mengamankan pengunjuk rasa. Akibatnya
banyak pengunjuk rasa yang mengalami luka-luka dan bahkan banyak yang meninggal
dunia. Parahnya, dari pengunjuk rasa yang meninggal itu semasa berkuasanya
rezim Soeharto tidak diketahui kuburannya. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
tersebut tercatat sebagai salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia terberat
yang pernah terjadi. Tercatat pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 terjadi pada
tanggal 8 - 12 september 1984, di mana pelanggaran-pelanggaran HAM yang
dilakukan antara lain, pembunuhan secara kilat yang terjadi di depan Mapolres
Jakarta Utara tanggal 12 september 1984. Ini merupakan akibat dari penggunaan
kekerasan yang berlebihan yang tidak sepatutnya terhadap kelompok massa oleh
satu regu pasukan dari Kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno
Mascung dengan senjata semi otomatis. Para anggota pasukan masing-masing
membawa peluru yang diambil dari gudang masing-masing sekitar 5-10 peluru
tajam. Atas tindakan ini jatuh korban kurang lebih 24 orang tewas, 54 luka
berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try Soetrisno Pangdam V Jaya korban
kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot Subroto.
Setelah
peristiwa tersebut, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan yang
sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan
peristiwa Tanjung Priok. Korban diambil di rumah atau ditangkap disekitar
lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan
surat perintah penangkapan dari yang berwenang. Keluarga korban juga tidak
diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para korban ditahan
di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis. Semua korban yang
ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis mengalami penyiksaan,
intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain dipukul dengan
popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain.
Kemudian ada
pula tindakan penghilangan orang secara paksa, penghilangan orang ini terjadi
dalam tiga tahap, pertama; menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang
tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari cara penguburan yang
dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di
malam hari. Lokasi penguburan juga tidak dibuat tanda-tanda, sehingga sulit
untuk diketahui. Kedua; menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga
korban untuk melihat kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan
penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan
keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan
barang bukti tersebut sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang
sebenarnya secara pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar